
“MK saja bilangnya partisipasi bermakna itu semua orang yang punya concern (perhatian) dan terdampak harus dilibatkan. MK sendiri bilang begitu, jadi harusnya tidak ada soal mau ibu rumah tangga, kek, mau mahasiswa, kek, bukan anggota TNI, tetap puny
Jakarta (ANTARA) – Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai bahwa masyarakat umum atau nonprajurit TNI tetap mempunyai kedudukan hukum atau legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang TNI ke Mahkamah Konstitusi.
“MK saja bilangnya partisipasi bermakna itu semua orang yang punya concern (perhatian) dan terdampak harus dilibatkan. MK sendiri bilang begitu, jadi harusnya tidak ada soal mau ibu rumah tangga, kek, mau mahasiswa, kek, bukan anggota TNI, tetap punya legal standing,” kata Bivitri saat ditemui di Gedung MK, Jakarta, Selasa.
Menurut dia, masyarakat umum dengan latar belakang nonprajurit tetap dapat memiliki kedudukan hukum, baik dalam pengujian formal (formil) maupun materiel (materi), selama yang bersangkutan dapat membuktikan kerugian hak konstitusionalnya.
“MK itu ‘kan letaknya di mana warga bisa mempersoalkan apa yang sudah dijadikan undang-undang oleh para wakilnya. Sebenarnya semua, pada dasarnya, harus diterima legal standing-nya, cuma tinggal nanti teknisnya saja berhasil membuktikan soal kerugian konstitusionalnya atau tidak, tapi bukan tergantung profesi,” ucap Bivitri.
Pernyataan ini disampaikan Bivitri merespons keterangan perwakilan DPR dan pemerintah dalam sidang lanjutan pengujian formal Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI pada Senin (23/6).
Dalam persidangan itu, Ketua Komisi I DPR RI Utut Adianto mengatakan bahwa para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum karena tidak ada pertautan langsung antara profesinya dan undang-undang yang diuji.
“Para pemohon tidak memiliki pertautan langsung dengan UU TNI karena tidak berkapasitas sebagai TNI aktif, calon prajurit TNI, bukan pegawai di instansi sipil yang berpotensi dirugikan dengan meluasnya jabatan sipil yang memungkinkan untuk dijabat oleh TNI, melainkan mahasiswa, pelajar, karyawan swasta, dan mengurus rumah tangga,” katanya.
Senada, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas selaku perwakilan pemerintah juga mengatakan bahwa para pemohon tidak berprofesi sebagai prajurit sehingga tidak memiliki alasan kerugian konstitusional yang berhubungan langsung dengan UU TNI.
“Para pemohon Perkara 81 yang merupakan organisasi masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat, serta para pemohon lainnya yang berprofesi sebagai mahasiswa, aktivis, ibu rumah tangga, tidak memiliki pertautan langsung karena para pemohon bukan merupakan prajurit aktif dan bukan siswa sekolah kedinasan militer, serta tidak mendaftar sebagai calon prajurit TNI,” kata dia.
Para pemohon, sambung Supratman, bukan merupakan subjek hukum (adresat) dari UU TNI dan bukan merupakan pegawai di instansi sipil yang berpotensi dirugikan dengan diperluasnya kesempatan bagi militer untuk menduduki jabatan sipil seperti yang diatur dalam undang-undang tersebut.
“Sehingga tidak dapat dikualifikasi memiliki kepentingan atas materi muatan undang-undang a quo (tersebut),” ucapnya.
Menurut Supratman, kedudukan hukum dalam pengujian formal hanya mencakup adanya kaitan langsung antara pemohon dan undang-undang yang diuji, bukan sekadar pihak yang memiliki kepedulian umum.
Adapun MK tengah menyidangkan lima perkara pengujian formal UU TNI di tahap pemeriksaan lanjutan, yakni Perkara Nomor Perkara Nomor 45/PUU-XXIII/2025, Nomor 56/PUU-XXIII/2025, Nomor 69/PUU-XXIII/2025, Nomor 75/PUU-XXIII/2025, dan Nomor 81/PUU-XXIII/2025.
Perkara-perkara itu dimohonkan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada, hingga koalisi masyarakat sipil yang terdiri atas organisasi masyarakat sipil, mahasiswa, serta karyawan swasta dan ibu rumah tangga yang juga berkegiatan sebagai aktivis.
Para pemohon pada pokoknya meminta MK membatalkan UU TNI yang baru karena pembentukannya dinilai tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 sehingga seharusnya dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
Leave a Reply